Anak Tukang Rokok
Aku tinggal di Menteng, sebuah kampung sepi dengan banyak pepohonan di pusat
Di tengah jalan di depan kantor Golkar aku lihat ada tukang bakso sederhana. Jualnya cuma mangkal di bawah pohon dengan satu kursi panjang yang tidak terlalu panjang dan sepeda lengkap dengan panci baksonya. Aku tertarik untuk beli dan memesannya. Ternyata si penjual sangat ramah dan menyapaku dalam bahasa Jawa. Sebagai orang Jawa gadungan yang belajar bahasa Jawa beberapa tahun lalu tentu aku menjawabnya dalam bahasa Jawa yang halus dong, bagaimanapun dia lebih tua. Ini pembicaraan setelah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.
“Bapak gimana kabarnya?” tanyanya yang membuatku bingung. Papaku
“Bapak kenal bapak saya?”
“Mbak anaknya Pak Sardi
“Pak Sardi?”
“Alah Mbak nggak usah pura-pura. Pasti anaknya Pak Sardi tukang rokok jalan
“Pak, saya bukan anaknya Pak Sardi. Mungkin mirip.”
“Ah nggak mungkin. Persis kok. Halus-halusnya juga. Salam ya buat bapak.”
(berhubung percuma bilang aku bukan anak Pak Sardi maka kuiyakan aja)
Aku bilang mama dan kakakku tentang si tukang bakso. Mereka ngakak bukan kepalang. Karena penasaran ibuku pun ingin lihat dan membuktikannya. Kemudian kami berdua jalan dan beli bakso di tempat yang sama.
“Pak tolong baksonya dua.”
“Wee anaknya Pak Sardi. Ini Bu Sardi ya? Kok tumben keluar Bu? Kiosnya siapa yang jaga?” katanya sambil nyapa mama yang disambung gelak tawa mamaku.
“Iya Pak, kalau jaga terus nanti malah pusing.” Jawab ibuku sambil nyengir.
(walah pak bakso kok malah sekarang ibuku jadi istrinya Pak Sardi)
Begitu tahu tentang ini, kakak dan masku penasaran. Mereka memutuskan untuk datang dan lihat. Eng ing eng…Pak bakso pun tertegun waktu lihat ibu dan kakakku yang jadi iseng suka nongkrong di tempatnya datang dijemput mobil hitam kinclong. Mungkin dalam hatinya “wah anaknya Pak Sardi sudah jadi orang” (masa jadi kucing). Kakakku dengan penasarannya malah buka kaca mobil lebar-lebar dan menyalami pak bakso sambil senyum. Diiringi dengan lambaian heboh anaknya yang sibuk antara lihat tukang arum manis ke kiri sama kereta api di kanannya.
Suatu hari aku sambil agak dandan dikit karena nunggu teman mau jalan ke Alfa, artinya ngelewatin Pak Bakso. Pulangnya sekalian mampir dan pesan. Tumben dia nggak ramah seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan cuma mandangin aku penuh selidik. Aku nggak tau ada apa sama dia. Waktu aku tanya dia bilang dia baik-baik aja.
Hari ini aku baru tau. Mama pergi ke pasar Cikini (rasanya nggak ada Pasar Menteng soalnya, mungkin orang Menteng nggak perlu makan jadi nggak ada pasar) dan pas pulang beli bakso buatku. Si tukang bakso minta maaf sama mama karena ngira dia istri tukang rokok dan aku anak tukang rokok. Kata mama si Pak Bakso bilang kalau dia malu sekali karena salah nyangka. Yakin sih mama pasti akan bilang ngga apa-apa.
Indeed nggak apa-apa. It was a good laughter for us. Malah kata mama, coba tukang rokoknya kaya Sampoerna, apa nggak tajir abis tuh.
Ealah Pak Raden, anak istrinya kok ya disangka anak istri orang lain Boss. Rest in
0 Comments:
Post a Comment
<< Home